Skema Kenaikan TTL 2013, Kaji Secara Komprehensif
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, sektor ESDM pada tahun 2013 diwarnai oleh kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) rata-rata sebesar 15 persen pada tahun 2013 hanya untuk pelanggan kategori 1300 KVA ke atas. Golongan pelanggan 450 KVA dan 900 KVA tidak mengalami kenaikan.
“DPR meminta Kenaikan TTL oleh pemerintah harus dikaji secara komprehensif dengan mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat,” ujarnya kepada Tim Parle.
Menurutnya, skema kenaikan TTL harus dilakukan secara bertahap untuk mengantisipasi gejolak inflasi. Kenaikan TTL setiap triwulan lebih rasional jika dibandingkan dengan penaikan sekaligus dalam satu tahun.
“Kita mendorong penggunaan/pemanfaatan energi mix seperti panas bumi (geothermal) dan air sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) untuk mengoptimalkan pembangkit listrik,” jelasnya kepada parle baru-baru ini.
Dia menambahkan, perlu adanya penerapan skema feed in tariff untuk menunjang program elektrifikasi nasional yang lebih feasible. Dengan menerapkan kebijakan feed-in tariff, harga listrik di setiap daerah berbeda-beda bergantung pada nilai investasi, kapasitas pembangkit, dan jenis energi terbarukan yang dimanfaatkan.
Tren Subsidi Energi
Sementara, Satya menjelaskan, tren subsidi energi kedepan selalu mengalami peningkatan dalam setiap penetapan anggaran. Dalam APBN 2012, subsidi energi sebesar Rp 168,5 triliun yang terdiri dari subsidi BBM Rp 123,5 triliun dan subsidi listrik Rp 45 triliun.
Dalam APBN-P 2012, subsidi energi membengkak menjadi Rp 225 triliun, untuk subsidi BBM sebesar Rp 137,37 triliun dan Rp 65 triliun untuk subsidi listrik (cadangan fiskal Rp 23 triliun). Sementara itu, subsidi energi dalam APBN 2013 juga membengkak menjadi Rp 274,7 triliun. Dari besaran tersebut, subsidi BBM Rp 193,8 triliun dan Rp 80,9 triliun.
“Pemerintah harus melakukan pengelolaan anggaran subsidi energi khususnya subsidi BBM secara ketat untuk menghindari terjadinya pembengkakan pada APBN berjalan 2013,” ujarnya.
Disisi lain, jelasnya. Pemerintah harus merubah paradigma subsidi BBM. Saat ini, pola subsidi masih terfokus pada harga BBM, padahal BBM bersubsidi banyak disalahgunakan dan tidak tepat sasaran karena harganya terlalu murah.Ke depan, pemerintah harus merancang program subsidi langsung yang bisa tepat sasaran kepada penduduk berpenghasilan rendah dan miskin.Bukan BLT, melainkan dalam bentuk cash transfer (berdasarkan data akurat kependudukan).
Dia menambahkan, harus dilakukan efisiensi terhadap cost operasional PLN, berdasarkan hasil audit investigatif BPK yang menemukan adanya pemborosan pengelolaan energi primer di PLN tahun 2009/2010 mencapai Rp 37 triliun. “Kita mengusulkan bahwa subsidi BBM dialihkan secara bertahap dalam lima tahun ke depan untuk subsidi energi terbarukandalam rangka membangun ketahanan energi,” jelasnya.
Sementara terkait BBM Bersubsidi, jelasnya, perlu adanya pengawasan terhadap pola distribusi terbuka BBM bersubsidi selama ini masih lemah. Pemerintah harus konsisten dan tegas melakukan pengawasan. “Manajemen volume BBM bersubsidi perlu dilakukan melalui pengendalian volume dengan menggunakan sistem IT. Per kendaraan diberi jatah per volume per hari,” jelasnya.
Selain itu, disparitas harga antara BBM bersubsidi dan BBM non-subsidi yang terlalu tinggi bisa mengakibatkan gejolak sosial dan kekisruhan. Karena itu, Pemerintah harus berani dan tegas melakukan penyesuaian terhadap harga BBM bersubsidi karena telah diberi kewenangan di dalam UU APBN 2013,” tambahnya. (si)/foto:iwan armanias/parle.